PENGARUH INFLASI TERHADAP
KINERJA PEMBIAYAAN BANK SYARIAH, VOLUME PASAR
UANG ANTAR BANK SYARIAH, DAN POSISI OUTSTANDING SERTIFIKAT WADIAH BANK
INDONESIA
Abstrak
Berdasarkan pengujian yang menggunakan
metode Vector Autoregression (VAR) ternyata variabel INF mempunyai pengaruh
positif terhadap variabel FDR, NPF, VPUAS dan OSWBI. Berikut dijelaskan
beberapa intisari dari hasil pengujian penelitian ini. Inflasi
berpengaruh positif terhadap Financing to Depocit Ratio (FDR), volume transaksi
Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (OSWBI). Meskipun demikian pengaruhnya sangat kecil,
tidak signifikan dan hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Bahkan
variabel-variabel tersebut lebih dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu.Tidak
signifikannya pengaruh variabel INF terhadap variabel FDR, dan VPUAS disebabkan
masih kecilnya kedudukan perbankan syariah sebagai faktor yang dapat mempengaruhi
peredaran uang di Indonesia.
Keywords:
Inflasi, Pembiayaan Bank Syariah, Pasar Uang, Wadiah
Pendahuluan
Salah satu faktor yang „mengganggu‟ pertumbuhan ekonomi Indonesia
selama ini adalah faktor
inflasi. Dalam jangka pendek inflasi
bisa menguntungkan bagi produsen karena akan menaikkan tingkat harga sehingga
produsen akan meningkatkan produksinya. Tetapi,
masalahnya inflasi di Indonesia sangatlah
kompleks, tinggi dan tidak stabil.
Soegiharso dan Gitaharie, menunjukkan bahwa inflasi pada tingkat tertentu
(di bawah nilai treshold) , diperlukan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam kebijakan moneter di
Indonesia, kenaikan tingkat inflasi akan direspon oleh otoritas moneter dengan
mengeluarkan kebijakan moneter yang bersifat kontraktif seperti menaikkan
tingkat suku bunga SBI. Sehingga perbankan konvensional dapat menanamkan
dananya ke dalam SBI dengan tingkat bunga yang tinggi tanpa risiko yang tinggi.
Meskipun
inflasi dapat menurunkan pemberian kredit ke sektor riil, kalangan perbankan
(konvensional) tetap dapat meraih pendapatan yang tinggi dari bunga SBI.
Keadaan ini berbeda dengan keadaan perbankan syariah. Bank syariah adalah
lembaga keuangan yang tidak mengenal bunga sebagai pendapatannya. Sehingga
perbankan syariah tidak dapat menempatkan likuiditasnya ke dalam SBI. Bahkan
tingkat bonus Sertifikat wadiah Bank Indonesia (SWBI) jauh lebih rendah dari
pada tingkat bunga SBI.
Pengaruh kebijakan moneter „konvensional‟ terhadap perbankan syariah ditemukan bahwa padakontraksi moneter
berupa kenaikan suku bunga SBI akan mengakibatkan pengurangandeposito,
penurunan pembiayaan, serta pengurangan likuiditas perbankan syariah. Dalam
menghadapi tingkat inflasi, perbankan syariah menghadapi dua masalahutama
yaitu, pertama, dari sisi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK). Kenaikan
tingkat inflasi akan meningkatkan suku bunga deposito. Sehingga suku bunga
deposito di perbankankonvensional lebih tinggi dan menarik daripada return dari
perbankan syariah. Return yang lebih tinggi di perbankan konvensional
akan meningkatkan displacement atau pengalihan dana yang besar dari
perbankan syariah ke perbankan konvensional. Biasanya yang melakukan displacement
ini adalah nasabah korporasi. Penurunan (pertumbuhan) DPK ini akan
mengurangi kemampuan bank syariah dalam mengelola likuiditasnya untuk
meningkatkan pendapatan karena penurunan DPK akan menyebabkan penurunan lending
capacity (Total liabilities dikurangi Giro Wajib Minimum, Cash in
vault dan modal).1 Permasalahan yang kedua muncul
dari sisi pembiayaan. Bagi dunia usaha, sebagai produsen barang dan jasa,
inflasi dapat tmenguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi
dari pada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan
terdorong untuk melipatgandakan produksinya. Namun, bila inflasi menyebabkan
naiknya biaya
|
1 Juda Agung, dkk, Credit
Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan Implikasi Kebijakan, Jakarta:
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2001, hlm. 19.
produksi hingga pada
akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya.
Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu, bahkan bila tidak
sanggup mengikuti laju inflasi, produsen bisa mengalami kerugian usaha.
Sehingga akan berdampak pada kinerja keuangannya yang menurun.
Dampak
inflasi lebih lanjut akan menyebabkan tingginya risiko default. Risiko
ini akan meningkatkan Non Performing Financing (NPF) perbankan
syariah. Jika pembiayaannya berdasarkan akad bagi hasil dimana jika pihak
debitor mengalami kerugian usaha maka kerugian ini juga ditanggung oleh bank
syariah (risk sharing). Jika jenis pembiayaannya adalah akad jual beli
(murabahah) maka tingginya inflasi dapat membuat produk pembiayaan
syariah secara umum menjadi relatif lebih mahal.
Tingginya
risiko pembiayaan (dan atau lemahnya absorpsi sektor riil) akan menyebabkan
perbankan syariah bisa mengurangi penyaluran dana ke sektor riil. Sehingga
perbankan syariah akan menempatkan kelebihan likuiditasnya ke dalam SWBI atau
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) di Pasar Uang Antar Bank
Syariah (PUAS). Pemindahan portofolio ke dalam PUAS dan SWBI merupakan cerminan
darisifat bisnis perbankan syariah di Indonesia yang masih risk averse.
Oleh
karena itu berdasar perspektif di atas, akan mencoba menganalisis seberapa
besar pengaruh gejolak inflasi terhadap kinerja likuiditas perbankan syariah
dalam hal pembiayaan (FDR dan NPF) dan penempatan dana di dalam PUAS dan SWBI.
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi
terhadap tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan Syariah,
tingkat Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah, volume transaksi
Pasar Uang Antar BankSyariah (PUAS), dan posisi outstanding Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Inflasi
Inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus
menerus. Kenaikan beberapa komoditi saja tidak disebut inflasi,
kecuali bila kenaikan tersebut meluas
kepada atau mengakibatkan
kenaikan sebagian besar
dari harga barang-barang lain. Keadaan harga yang terusmenerus berarti bahwa
kenaikan harga-harga karena bersifat musiman atau sesekali saja atau
tidak mempunyai pengaruh lanjut tidak disebut
inflasi.
Indikator
inflasi adalah ukuran yang digunakan untuk menghitung nilaiinflasi untuk
mengetahui tingkat inflasi pada waktu tertentu.Indikator inflasiumumnya
dihitung dengan menggunakan angka indeks sekelompok harga barang danjasa.Secara
umum ada tiga indikator inflasi yaitu IHK, IHPB dan PDB deflator.Pada skripsi
ini indikator yang digunakan adala IHK.IHK pada umumnya digunakan untuk
mengukur perubahan harga (pricechanges), biaya hidup (cost of living),
daya beli (purchasing power) dan tingkat inflasi (general measure of
inflation). Penjelasan penggunaan inflasi IHK dijabarkan sebagai berikut:
·
Sebagai
alat ukur perubahan harga (Price Changes), IHK digunakan untuk mengukur
perubahan harga dari sekelompok atau sekeranjang barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga.
·
Sebagai
alat ukur biaya hidup (Cost of Living), IHK digunakan untuk mengukur
perubahan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sekelompok barang dan jasa
yang memberikan tingkat kepuasan yang sama, sejalan dengan perubahan preferensi
rumah tangga.
·
Sebagai
alat ukur daya beli (Purchasing Power), IHK adalah indikator untuk
mengukur seberapa banyak barang dan jasa yang dapat dibeli dari sejumlah uang tertentu.
·
Sebagai
alat ukur inflasi (general measure of inflation), IHK mengukur perubahan
harga dalam suatu perekonomian.
Di Indonesia, IHK digunakan
sebagai indikator untuk mengukur perkembanganhargasecara umum.
Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
Undang-undang
No.23 tahun 1999 mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia harus mengakomodasi perkembangan bank-bank Syariah. Seiring dengan
kian berkembangnya bank- bank Syariah di Indonesia, Bank Indonesia menerapkan
instrumen moneter
Syariah dengan
menggunakan prinsip wadi‟ah
(titipan) yaitu Sertifikat Wadi‟ah
Bank Indonesia
(SWBI)
yang bertujuan untuk
menarik kelebihan likuiditas
bank Syariah. Dari sisi bank syariah sendiri, SWBI ini dapat
dijadikan sebagai sarana penitipan dana jangka
pendek.
SWBI
bukanlah SBI dengan prinsip syariah, karena SWBI bukan surat berharga dan hanya
sekedar bukti penitipan dana jangka pendek dengan prinsip wadi‟ah. Bank
Indonesia hanya
memberikan bonus (return)
kepada bank pemegang SWBI
sepanjang penitipan tersebut diperlukan dalam rangka kontraksi moneter
berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian SWBI tidak dimaksudkan
untuk memberikan sinyal tingkat
“return syariah” sebagai pengganti tingkat suku bunga pada SBI.
Pasar
Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS)
Pasar
Uang Antar Bank (PUAB) merupakan kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank
dengan bank lainnya. Dimana bank yang mempunyai kelebihan dana (surplus unit)
akan meminjamkan dana kepada bank yang kekurangan dana (deficit unit)
dengan memberikan kompensasi/imbalan tertentu. Transaksi dalam PUAB biasa
dilakukan oleh perbankan dalam kegiatan sehari-hari untuk menutupi kekurangan
pendanaan (mismatch) jangka pendek.
Selain
itu, pemain-pemain dalam PUAB sendiri adalah bank-bank konvensional yang
mendapatkan pendapatannya berupa bunga. Sehingga pendapatan untuk transaksi
dalam PUAB juga berupa bunga. Kondisi ini membuat bank syariah tidak bisa masuk
ke dalam PUAB. Padahal sebagaimana layaknya lembaga bank lainnya, banksyariah
membutuhkan adanya sarana PUAB antar bank syariah sendiri untuk mengelola
likuiditasnya secara efisien dan optimal.
Untuk
memberikan perlakuan yang setara kepada bank syariah, Bank Indonesia mulai
mengeluarkan instrumen PUAB yang sesuai syariah yang dimulai ketika bank
syariah di Indonesia hanya Bank Muamalat, dengan mengeluarkan Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU) mudharabah.
Instrumen Investasi Mudharabah
Antarbank (IMA)
Instrumen
yang digunakan dalam PUAS saat ini adalah Sertifikat Investasi Mudharabah
Antar-bank (IMA). Hal ini berarti akad yang digunakan adalah mudharabah (bagi
hasil) di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan
penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Tingkat Indikasi Imbalan PUAS adalah rata- rata tertimbang tingkat indikasi
imbalan sertifikat investasi mudharabah antarbank yang terjadi di PUAS, yang
tercatat pada Pusat Informasi Pasar Uang
(PIPU).
Bank
penjual menggunakan metode profit sharing (pembagian keuntungan) dan
jika mengalami kerugian maka bank pembeli tidak akan memperoleh imbalan.
Sepanjang kerugian itu bukan disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian bank
penerbit, maka bank penanam dana akan menanggung kerugian itu maksimum sebesar
nilai nominal investasi. Sertifikat IMA diterbitkan oleh kantor pusat Bank
Syariah bagi bank yang seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip syariah dan UUS.
Meski demikian, bank konvensional juga dapat berpartisipasi dalam PUAS. Tetapi
bank konvensional hanya dapat berperan sebagai pembeli sertifikat IMA.
Sedangkan bank umum Syariah maupun UUS dapat bertindak sebagai penerbit maupun
sebagai pembeli sertifikat IMA masing-masing melalui kantor pusat dan UUS-nya.
Kerangka Pemikiran
Secara
umum, inflasi tentu akan berpengaruh terhadap transaksi di lembaga keuangan.
Inflasi yang tercermin dari perubahan indeks harga secara umum di suatu negara
akan mempengaruhi biaya dan pendapatan secara riil. Nilai pendapatan secara
riil akan berkurang akan inflasi. Meskipun berpengaruh terhadap sektor
jasa keuangan, seperti yang dikutip English, tingkat inflasi yang lebih tinggi
akan meningkatkankapasitas sektor jasa keuangan karena masyarakat akan
mengurangi transaksi riil.Pengaruh inflasi terhadap industri jasa keuangan
teraplikasi lewat channel BI rate.BI rate digunakan Bank Indonesia dalam
pelaksanaan kebijakan moneternya. BI rate sebagai indikator
tingkat suku bunga pasar besarannya
dipengaruhi oleh
tingkat inflasi.2 BI rate kemudian akan
mempengaruhi suku bunga pasar uang antarbank hingga deposito. Bagaimana dengan
pengaruhnya terhadap lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah. Bank
syariah tidak mengenal bunga sebagaireturnnya. Inflasi akan berpengaruh
terhadap kinerja lembaga keuangan syariah. Seperti yang diungkapkan oleh teori
bejana berhubungan.3 Kebijakan moneter „konvensional‟
akan mempunyai pengaruh terhadap perbankan syariah seperti misalnya tingkat
sukubunga SBI. Salah satu sebabnya adalah aset perbankan syariah yang
tergolong kecil. Aset industri perbankan syariah masih sebesar Rp. 22,8 triliun
atau hanya 1,49 persen dari industri perbankan nasional. Sehingga fluktuasi di
tingkat makro ”konvensional” akan berdampak langsung terhadap kinerja perbankan syariah.
Temuan
ini juga diungkapkan oleh Pramuraharjo yang dalam tesisnya ditemukan bahwa pada
kontraksi moneter berupa kenaikan suku bunga SBI akan mengakibatkan pengurangan
deposito, penurunan pembiayaan, serta pengurangan likuiditas perbankan syariah.
Putri menambahkan bahwa tingkat suku bunga SBI juga berpengaruh positif
terhadap posisi SWBI. Kenaikan inflasi lebih berpengaruh kepada penurunan DPK
perbankan syariah. Mayoritas pangsa konsumen perbankan syariah adalah golongan
pasar mengambang (floating market). Golongan ini adalah golongan
konsumen yang lebih bersifat returnoriented. Kenaikan tingkat inflasi
tentu akan meningkatkan suku bunga deposito. Sehingga suku bunga deposito di
perbankan konvensional lebih tinggi dan menarik daripada return dari
perbankan syariah. Return yang lebih tinggi di perbankan konvensional
akan meningkatkan displacement atau pengalihan dana yang besar dari
perbankan syariah ke perbankan konvensional. Biasanya yang melakukan displacement
ini adalah nasabah korporasi. Penurunan pertumbuhan DPK ini akan mengurangi
kemampuan bank syariah dalam mengelola likuiditasnya untuk meningkatkan
pendapatan karena penurunan DPK akan menyebabkan penurunan lending
capacity. Penurunan DPK tentu akan
mempengaruhi pengelolaan likuiditas.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis
dalam penelitian ini berangkat dari pengaruh negatif inflasi terhadap
pembiayaan perbankan syariah. Sehingga pengelolaan likuiditas bank syariah
lebih diarahkan pada instrumen yang lebih rendah risiko. Bank Syariah
menghadapi dilema pengelolaaan likuiditas. Jika menyalurkan ke sekotor riil,
maka risiko defaultnya tinggi.Tetapi jika ditanamkan ke dalam SWBI atau
IMA maka return yang didapat rendah dan memarjinalkan fungsi intermediasi bank
syariah. Diasumsikan bahwa bank syariah lebih memilih kemungkinan yang kedua
karena bank syariah masih dalam tahap early growth. Sehingga bank
syariah lebih memilih untuk mengelola portofolio dengan risiko yang rendah agar
tidak menganggu sustainibilitas permodalan internalnya. Berikut disajikan
beberpa hipotesis yang diuraikan berdasarkan variabel penelitian.
1.
Hipotesis
pengaruh inflasi terhadap tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan syariah
Terdapat
pengaruh negatif antara inflasi dengan tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR)
perbankan syariah
2.
Hipotesis
pengaruh inflasi terhadap volume transaksi Pasar Uang Antar Bank Syariah(PUAS)
Terdapat pengaruh positif
antara inflasi dengan volume transaksi Pasar UangAntar Bank Syariah (PUAS)
3.
Hipotesis
pengaruh inflasi terhadap posisi outstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia(SWBI)
Terdapat pengaruh
positif antara inflasi
dengan posisi outstanding
SertifikatWadiah Bank
Indonesia (SWBI)
Lingkup
Penelitian
Data
yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder berupa time series bulanan
yang didapat dari Statistik Perbankan Syariah (SPS), Laporan Perekonomian
Indonesia (LPI), Statistik Ekonomi dan Keuangan
Indonesia
(SEKI) terbitan Bank
Indonesia (SEKI-BI) dan beberapa data terbitan dari Biro Pusat Statistik (BPS).
Periode pengumpulan data dilakukan mulai dari Bulan September 2006 hingga
September 2014. Satuan data yang digunakan berupa milyaran Rupiah dan
persentase. Satuan data dalam milyaran Rupiah digunakan oleh variable VPUAS dan
OSWBI sedangkan satuan data dalam bentuk persentase digunakan variabel INF, FDR
dan NPF Untuk menghilangkan permasalahan satuan data yang berbeda, satuan data
dalam bentuk milyaran Rupiah terlebih dahulu dirubah dalam bentuk logaritma.
Variabel
penelitian
Variabel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Tingkat
Inflasi IHK (INF)
Tingkat inflasi IHK
merupakan penghitungan tingkat inflasi di Indonesia atas dasar indikator
pergerakan harga rata-rata dari barang-barang pada tingkat konsumen akhir yang
terjadi diperdagangkan di suatu daerah yang dihitung secara bulanan.
2.
Financing
To Deposit Ratio (FDR)
FDR merupakan rasio (persentase)
antara Dana Pihak Ketiga (DPK) yang diterima oleh bank syariah dibandingkan
dengan jumlah pembiayaan yang disalurkan.
3.
Non
Performing Financing (NPF)
NPF merupakan besarnya
persentase pembiayaan macet yang berasal dari debitor yang tidak mampu melunasi
kewajibannya sesuai dengan kesepakatan awal.
4.
Volume
transaksi PUAS (VPUAS)
Volume transaksi PUAS
merupakan jumlah transaksi yang dilakukan dalam PUAS dengan menggunakan
instrumen IMA.Satuan data PUAS adalah milyaran Rupiah.
5.
Posisi
outstanding SWBI (OSWBI)
Outstanding SWBI adalah jumlah dana perbankan syariah yang
ditempatkan di Bank Indonesia.
Model
penelitian
Model
yang digunakan dalam penelitian adalah berbentuk model bivariat :
{INF, FDR}, {INF, NPF}, {INF, VPUAS},
{INF, OSWBI}.
Penjabaran
dari model-model bivariat tersebut disajikan sebagai :
1.
Pengaruh
inflasi (INF) terhadap tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan Syariah
2.
Pengaruh
inflasi (INF) terhadap tingkat Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah
3.
Pengaruh
inflasi (INF) terhadap volume transaksi Pasar Uang Antar Bank Syariah (VPUAS)
4.
Pengaruh
(INF) inflasi terhadap posisi outstanding Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (OSWBI)
Definisi
dan ruang lingkup VAR
Model-model
ekonometri biasanya berbentuk model struktural. Model-model ini dibentuk
berdasarkan suatu teori ekonomi. Tetapi, kadang kala teori ekonomi tidak dapat
menjelaskan suatu fenomena atau mendeskripsikan hubungan antar variabel yang
ingin diuji sesuai dengan landasan teorinya secara tepat. Dengan demikian
penggunaan teori ekonomi saja ternyata tidak cukup dalam menyediakan
spesifikasi yang tepat terhadap hubungan dinamis antar variabel atas terjadinya
suatu fenomena.
Bahkan
ada beberapa teori ekonomi yang saling berbeda dalam menjelaskan suatu
fenomena. Sehingga seringkali pemodel bersandar pada data dalam menentukan
struktur dinamik modelnya. Selain itu proses estimasi dan inferensi bisa
menjadi lebih rumit karena terdapatnya variabel endogen di kedua sisi
persamaan (endogenitas variabel di sisi dependen dan independen). Oleh karena
itu, dibutuhkan metode lain yang tidak banyak tergantung pada teori dalam
penyusunan model sebagai jalan keluar akan dilema ini.
VAR
merupakan teknik yang dapat menjawab tantangan tersebut. VAR merupakan metode
lebih lanjut sebuah sistem persamaan simultan yang bercirikan pada pemanfaatan
beberapa variabel ke dalam model secara bersama-sama. Jika dalam persamaan
simultan terdapat variabel endogen dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel
dianggap simetris, karena sulit untuk menentukan secara pasti apakah suatu
variabel bersifat endogen atau eksogen.
Selain itu VAR (Vector
Autoregression) secara luas juga digunakan untuk sistem forecasting yang
berkaitan dengan kurun waktu dan untuk menganalisis dampak dinamis dari
gangguan acak (random disturbance) terhadap sistem variabel.
Analisis dalam penelitian ini
menggunakan Vector Autoregresion karena beberapa hal di bawah ini :
1.
Model
VAR dapat menjelaskan hubungan jangka panjang simultan antar variable
penelitian dengan lebih baik dari pada regresi
linier.
2.
Penelitian
ini memasukkan variabel makro ekonomi sebagai variabel yang akan diteliti
pergerakannya, yaitu inflasi. Padahal menurut Rao, sebagian dari data
makroekonomi mempunyai sifat non stasioner dan causality dan metode VAR
lebih dapat menangkap hubungan jangka panjang pada variable makro ini lebih
baik daripada metode regresi linier.
Penggunaan
model VAR dalam studi ini mengacu pada beberapa referensi terutama dari
kajian-kajian ekonomi moneter yang membahas pengaruh variabel makroekonomi dan
kebijakan moneter terhadap kinerja variabel-variabel keuangan di sektor mikro
serta transmisi moneter. Beberapa riset terdahulu yang menggunakan model VAR
antara lain Holtemoller yang menggunakan IRF VAR suku bunga kredit dan kredit
terhadap perubahan variabel moneter. Arsana menggunakan VAR untuk melihat
pengaruh nilai tukar terhadap aliran kredit dan mekanisme transmisi kebijakan
moneter jalur kredit.4 Selain itu juga
terdapat Fung yang menggunakan model VAR untuk
Uji
Stasioneritas Data
Berdasarkan grafik 4.1,
periode yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa structural
break, karena itu uji unit rootnya tidak menggunakan Augmented Dickey
Fuller test, melainkan dengan Phillip Pheron (PP). Nilai statistik
PP dibandingkan dengan nilai kritis (critical value) MacKinnon untuk
mengetahui derajat integrasi stasioneritas suatu variabel. Suatu variabel
disebut stasioner pada integrasi tertentu jika nilai PP lebih kecil dari nilai
kritis MacKinnon.
Dengan
membandingkan nilai PP dengan nilai kritis, dapat dilihat keberadaan unit root
dari setiap variabel yang digunakan dalam model. Setelah diadakan uji unit
root, maka diketahui bahwa INF, FDR, OWSBI, dan VPUAS tidak stasioner
pada tingkat level. Setelah dilakukan uji unit root pada 1st difference barulah
semua series menjadi stasioner, baik pada alpha 1%, 5% maupun 10%.Karena itu,
series ini dapat dilanjutkan pada tahapan berikutnya dengan menggunakan VAR in difference.
Di bawah ini adalah hasil uji
unit root menggunakan metode PP pada
1st
difference dari
semua variabel:
Tabel 4.1.
Hasil Estimasi Uji Akar Unit Pada Tingkat Diferensi
Variabel
|
PP Test Statistic
|
||
Intercept
|
Trend and Intercept
|
None
|
|
INFLASI
|
-8.005***
|
-7.9615***
|
-8.0396***
|
FDR
|
-4,3012***
|
-6,0344***
|
-2,0174***
|
SBI
|
-3,970***
|
-3,9625**
|
-3,9255***
|
PUAS
|
-16,747***
|
-16,758***
|
-16,447***
|
Sumber: Data sekunder yang
diolah, 2015.
|
5 Ben S C. Fung, “a VAR model is
used to study the effects of monetary policy shocks in seven East Asian
economies”, BIS Working Papers No. 119, 2002, hlm. 68
Penentuan selang optimal (optimal
lag)
Lag
optimal adalah lag yang maksimum yang dapat diterima oleh sistem VAR yang
stabil karena proses ini dilakukan untuk mencari lag maksimum yang dapat
memberikan informasi yang cukup untuk melakukan uji-uji selanjutnya sekaligus
menghindari parameter yang berlebihan (overparameterization).
Tabel
4.2.
Lag Maksimum VAR pada Semua Model Bivariat
Lag
|
LogL
|
LR
|
FPE
|
AIC
|
SC
|
HQ
|
0
|
-94.88154
|
NA
|
0.000108
|
2.222057
|
2.333906
|
2.267140
|
1
|
447.0433
|
1022.959
|
7.99e-10
|
-9.596479
|
-9.037235
|
-9.371064
|
2
|
483.4539
|
65.45715
|
5.06e-10
|
-10.05514
|
-9.048504*
|
-9.649396*
|
3
|
506.4381
|
39.25402
|
4.35e-10*
|
-10.21209*
|
-8.758058
|
-9.626013
|
4
|
514.6565
|
13.29720
|
5.24e-10
|
-10.03723
|
-8.135796
|
-9.270814
|
5
|
536.5515
|
33.45752*
|
4.67e-10
|
-10.16970
|
-7.820872
|
-9.222953
|
6
|
552.0942
|
22.35354
|
4.84e-10
|
-10.15942
|
-7.363200
|
-9.032345
|
7
|
565.9977
|
18.74620
|
5.26e-10
|
-10.11231
|
-6.868691
|
-8.804899
|
8
|
577.1537
|
14.03900
|
6.17e-10
|
-10.00345
|
-6.312442
|
-8.515712
|
*
indicates lag order selected by the criterion
LR:
sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final
prediction error
AIC:
Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Sumber:
Data sekunder yang diolah, 2015.
Setelah
diketahui bahwa lag maksimum pada berbagai model bivariat maka dilakukan uji
seleksi lag agar dari banyaknya lag yang ditawarkan, lag yang paling optimum dapat segera ditentukan. Penentuan lag optimal
yang
digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan lag terpendek dengan menggunakan Hannan
Quinnon (HQ). Hasilnya menunjukkan bahwa model persamaan mengalami lag
optimal pada lag 2 (Tabel 4.2).
Pengujian
hubungan kointegrasi
Alternatif
uji kointegrasi yang sekarang banyak digunakan adalah uji kointegrasi yang
dikembangkan Johansen.Uji yang dikembangkan Johansen dapat digunakan untuk
menentukan kointegrasi sejumlah variabel.hasil uji kointegrasi Johansen dapat
dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3
Hasil Uji Kointegrasi Johanes
Unrestricted Cointegration
Rank Test (Trace)
|
||||
Hypothesized
|
Trace
|
0.05
|
||
No. of CE(s)
|
Eigenvalue
|
Statistic
|
Critical Value
|
Prob.**
|
None *
|
0.230745
|
52.20420
|
47.85613
|
0.0185
|
At most 1
|
0.146092
|
29.54488
|
27.79707
|
0.0290
|
At most 2
|
0.094104
|
17.69927
|
15.49471
|
0.0263
|
At most 3
|
0.035617
|
3.409122
|
3.841466
|
0.0648
|
Trace test indicates 1
cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the
hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis
(1999) p-values
|
Pada
Tabel 4.3. hasil uji kointegrasi menunjukkan nilai absolut Trace Statistic lebih
besar dari nilai kritis pada tingkat signifikansi 5 persen. Dari hasil uji
kointegrasi Johansen, dapat disimpulkan bahwa variabel Inflasi (INF),
FDR, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat bagi hasil
pinjaman pasar uang antarbank syariah (PUAS) saling berkointegrasi pada tingkat
signifikansi 5 persen.
Bentuk
urutan variabel (ordering)
Suatu
sistem VAR yang stabil dan baik akan memberikan output yang konsisten, terlepas
pada bentuk ordering variabelnya. Kondisi ini baru terjadi
apabila korelasi di
antara residual variabel di dalam sistem memiliki nilai lebih kecil dari 0,2
karena nilai korelasi yang lebih besar dari 0,2 mengindikasikan kebutuhan akan
ordering variabel
Tabel 4.4.
Matriks Korelasi Antar Variabel
LOG(INF)
|
LOG(FDR)
|
LOG(SBI)
|
LOG(PUAS)
|
|
LOG(INF)
|
1
|
0.05657
|
0.25058
|
0.01573
|
LOG(FDR)
|
0.05657
|
1
|
-0.1196
|
-0.2105
|
LOG(SBI)
|
0.2506
|
-0.1196
|
1
|
0.05899
|
LOG(PUAS)
|
0.01573
|
-0.2105
|
0.05899
|
1
|
Sumber: Data sekunder yang
diolah, 2015.
Implementasi
VAR
Implementasi VAR untuk
mengetahui pengaruh inflasi terhadap FDR, NPF, Volume transaksi PUAS dan posisi
outstanding SWBI menggunakan variance decomposition dan impulse
response.Berikut dibawah ini adalah penjelasan dari uji hipotesis yang
dilakukan dengan dua metode, yaitu Variance Decomposition (VED) dan Impulse
Response Function (IRF).
Estimasi
Model VAR
Persamaan di bawah ini
menunjukkan hasil estimasi model VAR. Dalam penelitian ini, digunakan
empat model VAR sesuai dengan jenis suku bunga perbankan yang digunakan.
Tabel. 4.5.
Hasil Estimasi Model VAR
LOG(INF)
|
LOG(FDR)
|
LOG(OSWB I)
|
LOG(VPUA S)
|
|
LOG(INF(-1))
|
1.115973
|
0.017751
|
0.050319
|
-0.307910
|
(0.10833)
|
(0.01833)
|
(0.01992)
|
(0.16756)
|
|
[ 10.3017]
|
[ 0.96834]
|
[ 2.52542]
|
[-1.83758]
|
|
LOG(INF(-2))
|
-0.294199
|
0.007396
|
-0.034681
|
0.245017
|
(0.11236)
|
(0.01901)
|
(0.02067)
|
(0.17380)
|
|
[-2.61841]
|
[ 0.38896]
|
[-1.67817]
|
[ 1.40980]
|
|
LOG(FDR(-1))
|
-0.401880
|
0.968868
|
-0.009801
|
0.455767
|
(0.65170)
|
(0.11028)
|
(0.11987)
|
(1.00804)
|
|
[-0.61667]
|
[ 8.78527]
|
[-0.08176]
|
[ 0.45213]
|
|
LOG(FDR(-2))
|
0.408180
|
0.014290
|
0.007831
|
-0.368758
|
(0.64272)
|
(0.10876)
|
(0.11821)
|
(0.99415)
|
|
[ 0.63509]
|
[ 0.13138]
|
[ 0.06625]
|
[-0.37093]
|
|
LOG(OSWBI(-1))
|
1.145035
|
-0.128501
|
1.552261
|
0.484405
|
(0.46626)
|
(0.07890)
|
(0.08576)
|
(0.72121)
|
|
[ 2.45580]
|
[-1.62861]
|
[ 18.1003]
|
[ 0.67166]
|
|
LOG(OSWBI(-2))
|
-0.926985
|
0.036717
|
-0.605016
|
-0.076040
|
(0.43769)
|
(0.07407)
|
(0.08050)
|
(0.67701)
|
|
[-2.11792]
|
[ 0.49572]
|
[-7.51537]
|
[-0.11232]
|
|
LOG(VPUAS(-1))
|
-0.014098
|
0.002467
|
0.015378
|
0.485835
|
(0.06965)
|
(0.01179)
|
(0.01281)
|
(0.10773)
|
|
[-0.20241]
|
[ 0.20931]
|
[ 1.20039]
|
[ 4.50958]
|
|
LOG(VPUAS(-2))
|
-0.079429
|
-0.009595
|
-0.025933
|
0.152957
|
(0.06578)
|
(0.01113)
|
(0.01210)
|
(0.10175)
|
|
[-1.20747]
|
[-0.86194]
|
[-2.14338]
|
[ 1.50326]
|
|
C
|
-0.000659
|
0.357439
|
0.118962
|
-0.989198
|
(0.43497)
|
(0.07361)
|
(0.08000)
|
(0.67281)
|
|
[-0.00152]
|
[ 4.85599]
|
[ 1.48695]
|
[-1.47025]
|
|
R-squared
|
0.911939
|
0.999212
|
0.986560
|
0.580182
|
Adj. R-squared
|
0.903747
|
0.999139
|
0.985309
|
0.541129
|
Sum sq. resids
|
1.785846
|
0.051142
|
0.060416
|
4.272794
|
S.E. equation
|
0.144103
|
0.024386
|
0.026505
|
0.222898
|
F-statistic
|
111.3244
|
13635.31
|
789.0819
|
14.85633
|
Log likelihood
|
53.96510
|
222.7349
|
214.8190
|
12.52727
|
Akaike AIC
|
-0.946634
|
-4.499683
|
-4.333032
|
-0.074258
|
Schwarz SC
|
-0.704687
|
-4.257737
|
-4.091085
|
0.167688
|
Mean dependent
|
1.972118
|
9.774980
|
2.160931
|
1.761058
|
S.D. dependent
|
0.464479
|
0.831041
|
0.218679
|
0.329050
|
Sumber: Data sekunder yang
diolah, 2015.
Tabel 4.6.
Variance
Decomposition
Variance Decomposition of LOG(INF):
|
|||||
Perio d
|
S.E.
|
LOG(INF)
|
LOG(FDR)
|
LOG(OSW BI)
|
LOG(VPU AS)
|
1
|
0.144103
|
100.0000
|
0.000000
|
0.000000
|
0.000000
|
2
|
0.223501
|
97.94829
|
0.348035
|
1.684815
|
0.018862
|
3
|
0.280393
|
94.18170
|
0.491445
|
4.875166
|
0.451689
|
4
|
0.324566
|
89.90181
|
0.550297
|
8.328842
|
1.219052
|
5
|
0.359939
|
85.84834
|
0.564053
|
11.36558
|
2.222019
|
6
|
0.388398
|
82.36558
|
0.557660
|
13.74431
|
3.332458
|
7
|
0.411045
|
79.52543
|
0.543388
|
15.46919
|
4.461994
|
8
|
0.428720
|
77.28168
|
0.527367
|
16.64068
|
5.550270
|
9
|
0.442178
|
75.54744
|
0.512480
|
17.38155
|
6.558527
|
10
|
0.452129
|
74.23094
|
0.499940
|
17.80660
|
7.462522
|
Sumber: Data sekunder yang
diolah, 2015.
Pengaruh
INF terhadap FDR
Dari
Hasil analisa variance decomposition model INF dan FDR dapat disimpulkan
bahwa INF tidak secara signifikan mempengaruhi FDR. FDR lebih dipengaruhi oleh
kinerjanya di masa lalu. Bahkan pengaruh inflasi terhadap FDR perbankan syariah
hanya berlaku dalam jangka pendek. Hal ini dapat dilihat dengan nilai Standar
Error (SE) yang cukup tinggi. Tidak signifikannya pengaruh inflasi terhadap
FDR dikarenakan bank syariah tidak memakai mekanisme suku bunga. Sehingga
tingkat bagi hasil atau marjin laba produk bank
syariah tidak harus ‟menyesuaikan‟ diri dengan
tingkat
inflasi seperti layaknya
tingkat suku bunga bank konvesional. Untuk melihat respon variabel FDR terhadap
perubahan INF. Di bawah ini adalah grafik IRF dari variabel INF terhadap FDR:
Grafik
IRF accumulated responses dari variabel INF terhadap variabel FDR mempunyai
slope positif. Hal ini berarti pergerakan inflasi searah dengan pergerakan FDR
perbankan syariah. Meskipun demikian pengaruhnya tidak terlalu signifikan
karena grafiknya tidak naik dengan tajam. Hasil pengujian berarti mematahkan
hipotesis awal penelitian yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh negatif
terhadap FDR perbankan syariah. Tingkat suku bunga bank konvensional mengacu
pada tingkat BI rate yang merupakan indikator suku bunga pasar di mana BI rate
sudah mengakomodir tingkat inflasi. Sehingga tingkat suku bunga pasar pasti lebih
besar dari pada tingkat inflasi supaya nilai riilnya lebih tinggi untuk
meNdapatkan marjin keuntungan riil.
Tetap
naiknya FDR perbankan syariah ketika terjadi kenaikan inflasi menandakan
bahwa perbankan syariah tidak terlalu ‟takut‟ akan kehadiran inflasi dalam hal
penyaluran pembiayaan. Penyaluran pembiayaan harus tetap dilakukan bank syariah
karena jika tidak akan menghadapi risiko bleeding karena alternatif
penempatan likuiditasnya masih terbatas. Bleeding merupakan kondisi
dimana bank tidak dapat membayar return dari investasi (deposito)
nasabah karena bank tidak dapat mengelola dana nasabah tersebut untuk
memberikan keuntungan bagi bank sehinga bank dapat
membayar return untuk nasabah. Tetapi sayangnya,
jika dilihat dari komposisi pembiayaan perbankan syariah,
masih didominasi oleh
pembiayaan murabahah. Padahal pola pembiayaan berbasis bagi hasil
merupakan esensi pembiayaan bank syariah. Pembiayaan berbasis bagi hasil lebih
condong untuk menggiatkan sektor riil karena meningkatkan hubungan langsung dan
pembagian risiko antara bank syariah dengan debitor. Bahkan pengembangan produk
yang terjadi di perbankan syariah lebih berbasis pada produk layanan konsumen (consumer
banking) seperti produk pembiayaan perumahan.
Masih
dominannya pembiayaan berbasis murabahah memuat bank syariah masih
bersifat risk avoide. Apalagi portofolio pembiayaan bank syariah juga
didominasi financing kepada sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
dan penggunaannya untuk kebutuhan modal kerja. Padahal menurut Rosly dalam
skema mudharabah, inflasi bukan perhatian utama. Karena dalam mudharabah,
keuntungan tidak ditentukan di awal kontrak, tetapi direalisasikan sejalan
dengan kondisi ekonomi. Ketika terjadi inflasi, tingkat harga naik, penjualan dan
keuntungan diperkirakan naik juga. Dalam sisi liabilitas, kenaikan
inflasi akan meningkatkan return mudharabah.6
Penyaluran
pembiayaan berbasis bagi hasil lebih menggunakan pola linkage bank
syariah dengan lembaga keuangan lainnya seperti BPRS, koperasi dan pegadaian.
Peningkatan kerjasama linkage ini merupakan salah satu sarana yang
membuat penyaluran likuiditas bank syariah tetap tinggi. Kenaikan inflasi lebih
berpengaruh kepada penurunan DPK perbankan syariah. Penurunan DPK terjadi
karena tingkat suku bunga deposito perbankan konvensional menjadi tinggi.
Kenaikan tingkat suku bunga deposito perbankan konvensional menyebabkan
peningkatan risiko displacement atau pengalihan dana dari bank syariah
ke bank konvensional. Penurunan DPK bisa mengurangi lending capacity bank
syariah.
Pengaruh
INF terhadap VPUAS
Dari
tabel variance decomposition di atas dapat diketahui bahwa pengaruh INF
terhadap VPUAS sangat kecil. Dilihat dari Standard Error-nya,
pengaruhnya pun hanya terjadi dalam jangka pendek saja. Meskipun semakin
lama pengaruhnya semakin meningkat. Variabel VPUAS lebih dipengaruhi oleh
kinerjanya dimasa lalu.Grafik 4.2.IRF INF
terhadap VPUAS
Grafik
accumulated response dari variabel INF terhadap variabel VPUAS mempunyai
slope positif yang dimulai pada bulan ke 2. Hal ini menandakan bahwa
pergerakan volume transaksi VPUAS bergerak searah dengan laju inflasi
yang berarti kebutuhan likuiditas jangka pendek bank syariah naik pada saat
terjadi inflasi. Walaupun secara nasional perbankan syariah terlihat likuid
namun per masing-masing bank bukan tidak mungkin terdapat bank yang kekurangan likuiditas.
Naiknya
kebutuhan likuiditas sementara terjadi karena bank permodalan bank
syariah masih rentan terhadap adanya shock dalam perekonomian meskipun
pengaruhnya tidak secara langsung.Karena inflasi, meskipun pengaruhnya kecil
bagi bank syariah, dapat meningkatkan risiko default debitor dan
menyebabkan terjadi temporary illikuid.
Kekhawatiran
ini diakibatkan oleh masih rendahnya modal bank syariah. Apalagi biasanya
pihak yang bermain sebagai penjual sertifikat IMA adalah Unit Usaha Syariah (UUS).
Modal UUS masih ditunjang oleh bank induknya, sehingga
UUS sangat hati-hati (prudent)
dalam manajemen
pembiayaannya ketika
terjadi gejolak dalam perekonomian agar modal (CAR) tidak turun.
Pengaruh INF terhadap OSWBI
Dari
hasil dekomposisi varians variabel INF terhadap OSWBI dalam 12 periode
diketahui bahwa variabel INF mempengaruhi variabel OSWBI secara signifikan dan
semakin panjang periodenya pengaruh itu semakin kuat. OSWBI sendiri
secara signifikan dipengaruhi oleh pergerakan nilainya dimasa lalu.
Grafik
accumulated response dari variabel INF terhadap variabel OSWBI mempunyai
slope negatif yang dimulai pada bulan ke-8 sehingga dapat diartikan bahwa
setiap kenaikan posisi INF, akan direspon dengan kenaikan SWBI. Kenaikan outstanding
SWBI ketika terjadi kenaikan inflasi disebabkan SWBI tidak mempunyai risiko
default. Tetapi karena bonus yang diberikan dari penempatan dana di SWBI
kecil maka proporsi penempatan dana di SWBI juga tidak besar. Selain
disalurkan untuk melakukan ekspansi pembiayaan, DPK juga
dipakai untuk tujuan investasi fisik seperti
melakukan perluasan
jaringan kantor dan
layanan perbankan dan menutup biaya operasional karena peningkatan biaya
pembentukan cadangan penghapusan atas risiko kerugian.
Kesimpulan
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari inflasi IHK (INF) terhadap
kinerja pembiayaaan perbankan syariah yang diukur dengan kriteria Financing
to Depocit Ratio (FDR), volume transaksi Pasar Uang Berdasarkan Prinsip
Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(OSWBI). Berdasarkan pengujian yang menggunakan metode Vector Autoregression
(VAR) ternyata variabel INF mempunyai pengaruh positif terhadap variabel
FDR, NPF, VPUAS dan OSWBI. Berikut dijelaskan beberapa intisari dari hasil
pengujian penelitian ini.
Inflasi
berpengaruh positif terhadapFinancing to Depocit Ratio (FDR), volume
transaksi Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia
(OSWBI). Meskipun demikian pengaruhnya sangat kecil,
tidak signifikan dan hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Bahkan
variabel-variabel tersebut lebih dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu.
Tidak signifikannya pengaruh variabel INF terhadap variabel FDR, dan VPUAS
disebabkan masih kecilnya kedudukan perbankan syariah sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi peredaran uang di Indonesia.
Konklusi
dari hasil penelitian ini bahwa perilaku perbankan syariah berbeda dengan
perbankan konvensional. Basis pendapatan bank konvensional adalah
bunga.Tingkat suku bunga tidak mencerminkan biaya kredit ke sektor riil,
melainkan merupakan cerminan BI rate yang merupakan suku bunga pasar yang
mengakomodir tingkat inflasi.Sehingga terdapat hubungan yang negatif antara
sektor riil dengan sektor moneter. Di saat sektor riil membutuhkan tambahan
dana investasi untuk bisa bertahan atau melakukan ekspansi di
tengah-tengah inflasi, tingkat suku bunga bank konvensional malah naik seriring
kenaikan inflasi. Sedangkan bank syariah, sebagai bank yang bersentuhan
langsung dengan sektor riil, „fee‟
pembiayaan yang dikenakan kepada debitor merupakan cerminan dari keseimbangan
antara penawaran dan permintaan pembiayaan yang sesungguhnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Agung, Juda, Bambang
Kusmiarso, Bambang Pramono, Erwin G. Hutapea, Andry Prasmuko, Nugroho Joko
Prastowo, Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan
Implikasi Kebijakan, Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter Bank Indonesia, 2001
Al-Mushlih, Abdullah dan
Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keungan Islam (terjemahan), Jakarta:
Darul Haq, 2004
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori
ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Arsana, I Gede Putra, “Pengaruh Nilai Tukar Terhadap
Aliran Kredit dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit”, Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. V, No. 02, 2005 Januari, hal
121-140
Ascarya (editor), Mencari
Solusi Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan Syariah, Jakarta: Bank Indonesia,
2004
--------------- dan Diana
Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum,Jakarta: Bank
Indonesia, 2005
Buchori, Ahmad, “Mengenal PUAS dan SWBI sebagai
Piranti Pasar Uang dan Moneter Syariah”, Wacana, Edisi 2, Agustus 2001
Dewan Syariah Nasional, Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional,Jakarta: MUI dan BI, 2003
Direktorat Perbankan Syariah, Laporan
Perbankan Syariah tahun 2005, Jakarta: Bank Indonesia, 2006
Enders, Walter, Applied
Econometric Time Series, New York: John Wiley and Sons, 1995
English, William B, “Inflation
and Financial Sector Size”, Journal of Monetary Economics, Vol. 44,
Tahun 1999, hal. 379-400
Fung, Ben S C, “a VAR model is used to study the
effects of monetary policy shocks in seven East Asian economies”, BIS Working
Papers, No. 119, 2002
Gambacorta, Leonardo, “Bank-specific Characteristics
and Monetary Policy Transmission: The Case of Italy”, ECB Working Paper Series,
2001
Hadad, Muliaman D dkk, “Studi Biaya Intermediasi Beberapa
Bank Besar di Indonesia: Apakah Bunga Kredit Bank Umum Overpriced ?, BI
Working Paper, 2003
Heatubun, S. Donny handoko
dkk, Kajian tentang Instrumen Moneter Pada Perbankan Syariah, PCS-BI
Angkatan I Kelompok D. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank
Indonesia, Januari, 2000
Karim,
Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : IIIT, 2001
------------------, “Bejana Berhubungan Bank Syariah”,
Republika, Senin, 31 Mei 2004
Karim, Yustika T, “Prospek dan
Tantangan Perbankan Syariah 2006”, Economic Review Journal, No. 202,
Desember 2005
Lewis, K. Mervyn dan Latifa M. Algaoud, Islamic
Banking, Northampton: Edward Elgar Publishing, 2001
Mannan,
M.A, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.), Jakarta: Intermasa, 1992
Miskin, Frederick, The Economics of Money, Banking and Financial Market, New
York: Addison Wesley, 2003
Nasution,
Anwar, Kumpulan Esay tentang Inflasi, 1997
Nasution, Chairuddin Syah, “Manajemen Kredit Syariah
Bank Muamalat”, http://www.fiskal.depkeu.go.id
Nugroho, Ugie, “Mekanisme PUAB bagi Ekses Dana Pihak
Ketiga Perbankan”, Kompas, Sabtu 3 April 2004.
Rosly, Saiful Azhar, “Mudharabah Interbank
Investment”, The Sun (Malaysia), Friday, Februari 16, 1996
-----------------------, “Can
Islamic Banks Really Practise Musyarakah”, The Sun
(Malaysia), Friday. November
25,1994
------------------------,
“Mudharabah and the Role of Shariah Court”, The
Sun
(Malaysia), Friday, December
2,1994
------------------------,
Islamic Banking and Economic Development”, The Sun
(Malaysia), Friday, August
26,1994.
------------------------, “Banking on Leverage”, The
Sun (Malaysia), Friday, March 17,1995
-----------------------, “Lending is Indeed Charity”, The
Sun (Malaysia), Friday, November 4, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar