HUKUM PERJANJIAN
Standar kontrak
Pengertian
adalah
perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa
formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan
kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen
(Johannes Gunawan). Perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam
bentuk formulir (Mariam Badrulzaman) . Is one in which there is great
disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but to accept
the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
Perjanjian
baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun
yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu
secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak
lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi
penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal
yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur. 2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak
standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para
pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
B. Jenis-jenis kontrak standar
a.
Ditinjau
dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka
ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
I.
kontrak
standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
II.
kontrak
standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
III.
kontrak
standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
b.
Ditinjau
dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat
dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
I. kontrak
standar menyatu;
II.
kontrak
standar terpisah.
c.
Ditinjau
dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
I. kontrak
standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
II.
kontrak
standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan.
C. Macam-macam perjanjian
a.
perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
b.
Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
c.
Perjanjian bernama dan tidak bernama
d.
Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
e.
Perjanjian konsensual dan perjanjian real
1.
Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian
timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan
yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian
jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar. Perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak
kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu
berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain
berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian
jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak.
Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak,
atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal
pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah
satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu
bersifat timbal balik.
2.
Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian
percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak
saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan
alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Kontra
prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat
potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang,
jika B menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini
mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan mengenai
perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341
KUHPdt).
3.
Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian
bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan
sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya
jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama
adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
4.
Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian
kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini
sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.
Perjanjian
obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak
perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut
penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pentinganya pembedaan
ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering)
sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
5.
Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian
konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak
antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya,
misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai
(pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt). Dalam hukum adat, perjanjian real justru
yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum
(perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan
kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini
disebut
“kontan atau tunai”.
D. Syarat sahnya perjanjian
Bagaimana syarat sah suatu perjanjian? Berdasarkan
pasal 1320 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu
perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
1.
terdapat
kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran
tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah
pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
2. kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian.
Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil
dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan
perjanjian tersebut;
3. terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya,
perjanjian tersebut merupakan objek yang
jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
4.
hukum
perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya,
perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan
ditujukan kejahatan.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap”
menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig”
dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut
hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum
Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian :
5. orang-orang
yang belum dewasa
6. mereka yang ditaruh didalam pengampunan
7. orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian
tertentu.
Dari sudaut
rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat”
oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun
untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan
perbuatannya itu. Dedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang
yang membuat sesuatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan
kekayaanya, orang tersebut harus seseorang yang
sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Orang yang
tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh
seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah
pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta
kekayaannya. Ia berada dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan
seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus
diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah
pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya. Menurut kitab
Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan
suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya
(pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Perdata). Untuk perjanjian-perjanjian
mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam pengertian “keperluan
rumah -tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai oleh suaminya. Dengan
demikian maka seorang istri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak
cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan seorang anak yang belum
dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan
seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau seorangdalam membuat suatu
perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia tidak membuat perjanjian itu
sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini berarti bahwa ia bertindak
sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan
tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis. Dan terdapat
syarat perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif,
maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi
hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian
tersebut, yakni melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal. Dengan demikian
maka tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim. Dalam hal syarat
subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi
hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu
digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap
atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian
yang dibuatnya itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi. Dengan demikian nasib sesuatu
perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak
untuk menaatinya.
E. Pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian
a.
Pembatalan suatu perjanjian
Dalam
syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila
syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and
void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian
dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang
mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu
menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim
ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau
perikatan. Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan
mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan batal demi hukum, tetapi
dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini
adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan pihak yang memberikan
perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas. Tentang perjanjian yang
ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah
kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum
terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat
subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah
ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian
itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan. Dalam
hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas,
yaitu:
1.
Pemaksaan
adalah
pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
2.
Kehilafan atau Kekeliruan,
Apabila
salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian,
ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut
harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal
tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
3.
Penipuan,
Apabila satu
pihak dengan sengaja memberikan keterangan – keterangan palsu atau
tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk
membujuk para
lawannya
memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya. Dengan demikian maka ketidak-cakapan dan
ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu perjanjian, memberikan
hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam
memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan
sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh
meminta pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak
saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan. Meminta
pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi
sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam hal ketidak- cakapan suatu
pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan, sejak hari paksaan
itu telah berhenti. Dalam hal kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya
kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap
pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat
dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama,
pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta
kepada hakin untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga
dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Terhadap azas konsensualitas
yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum perdata ada
kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk
beberapa macam perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan benda tak
bergerak harus dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus
dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana
ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian
formil. Apabila perjanjian yag demikian itu tidak memenuhi formalitas akan
ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah
batal demi hukum
b.
Pelaksanaan suatu perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain,
atau dimana dua orang saling berjanji untuk melasanakan sesuatu. Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibadi
menjadi tiga macam:
1.
Perjanjian untuk memberikan / menyerahkan suatu barang.
Contohnya:
jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa,
pinjam- pakai.
2.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk
membuat garansi, dan lain-lain.
3.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebaginya. Suatu
persoalan hukum dalam hukum perjanjian ialah persoalan apakah jika si berhutang
atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat
mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si
berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan
sendiri apa yang menjadi haknya menurut peranjian. Jika itu terjadi,
kemungkinan perjanjian tadi dapat dieksekusi secara rill. Perjanjian untuk
berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara ,udah dapat dijalankan
secara rill, asal saja bagi si berpiutang (kreditur)tidak penting oleh siapa perbuatan
itu dilakukan , misalnya membeuat sebuah garasi, yang dapat dengan mudah
dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu adalah lukisan,
perbuatan itu dapat dillakukan oleh orang lain selain pelukis yang menjanjikan
sebiuh lukisan. Karena itu, maka perjanjian bersifat sangat pribadi ,
tidak dapat dilaksanakan secara rill, apabila pihak yang menyanggupi melakukan
hal tersebut tidak menepati janjinya. Perjanjian memberikan barang
tertentu (artinya barang yang telah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan
bahwa ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi rill itu dapat dilakukan,
misalnya jual-beli. Suatu barang yang bergerak yang tertentu, jika mengenai
barang yang tak tertentu maka eksekusi rill tak mungkin dilakukan. Untuk
melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan
cermat apa saja isi dari perjanjian-perjanjian tersebut. Menurut pasal 1339
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
Undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian dilengkapi dengan
aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-undang, yang terdapat dalam adat
kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus
diindahkan.
F. Wanprestasi
Pengertian
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan somasi (suatu teguran atau peringatan tertulis yang disampaikan kepada
orang lain yang telah melanggar kesepakatan dan atau melakukan wanprestasi).
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana
yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Dalam restatement of the law of contacts (Amerika Serikat),
Wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Total
breachts Artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan
2. Partial
breachts Artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.
Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah
seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan
sesuatu, sebaiknya dianggap wanprestasi bila seseorang :
- Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
- Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau
- Melakuakan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.
Akibat
adanya Wanprestasi
Ada empat
akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
- Perikatan tetap ada.
- Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
- Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
- Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
Akibat
wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur,
sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam,
yaitu:
- Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata).
- Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata).
- Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata).
- Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni
- Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi), Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni:
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
- Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian, Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
- Peralihan Risiko, Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Kesimpulan:
Wanprestasi adalah
tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan
dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Menurut kamus
Hukum, Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati
kewajibannya dalam perjanjian. Dengan demikian, Wanprestasi adalah suatu
keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan
prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Adapun
seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 macam,
yaitu : Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali; Debitur memenuhi prestasi,
tetapi tidak sebagaimana mestinya; Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak
tepat pada waktunya; Debitur memenuhi prestasi, tetapi melakukan yang dilarang
dalam perjanjian. Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang
atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan
batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila
prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu
yang pantas. Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada
empat macam, yaitu: membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau
dengan singkat dinamakan ganti-rugi; pembatalan perjanjian atau juga
dinamakan pemecahan perjanjian; peralihan resiko; membayar biaya
perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
SUMBER :
- Katuuk, Neltje F. 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Februari
- Muhammad, Abdulkadir. 1992. Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar